Selasa, 26 Februari 2013

Coretan Romel Malensang


::MAHASISWA YANG BEBAS DARI EKSISTENSI SEMU::
-Romel K. Malensang-

Dalam perhelatan historisitas yang cukup panjang di bangsa ini, aspek kemahasiswaan secara konstektual seakan selalu diidentikan dengan sebuah eksistensi yang membawa perubahan, penuh semangat, progresif, inovatif, dan memiliki sensitivitas social yang tinggi. Peranan mahasiswa tercatat indah dalam sejarah perjuangan Bangsa Indonesia dimulai dari pergerakan Budi Utomo tahun 1908, Sumpah Pemuda tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, pergerakan mahasiswa tahun 1966, dan masih banyak lagi.
Kata-kata “Agent of Change”, “Iron Stock”, “Guardian of Value”, selalu menempel erat sebagai identitas para mahasiswa yang juga dikenal sebagai kaum intelektual muda. Hal inilah yang kemudian menjadi sebuah pandangan umum atau lebih tepat saya istilahkan “beban moral” mahasiswa yang menjadi kepercayaan khalayak populis maupun elitis selain belajar di kelas.
Masa reformasi ini, mahasiswa diperhadapkan dengan tantangan yang semakin rumit dan kompleks. Ketika sistem demokrasi ini dengan prinsip dasar menjamin hak untuk bebas, merdeka, dan berkuasa, muncullah anggapan masyarakat dan khususnya juga beberapa “simpatisan mahasiswa” bahwa dirinya pun ingin dihargai dan menguasai, tanpa adanya pemahaman mengenai etika moral yang ada. Kepentingan-kepentingan individu yang egoistis inilah pada akhirnya menimbulkan konflik antar kelompok masyarakat, anarkisme mahasiswa, dan konflik-konflik lainnya baik agama maupun budaya. Hal ini pun tercermin dalam perilaku beberapa petinggi pemerintahan yang ada di beberapa lembaga. Ketika negara demokrasi seharusnya mengikutsertakan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, yang terjadi malah kebalikannya. Masyarakat menjadi korban dari kebijakan yang dibuat pemerintah. Pemerintah yang juga seharusnya menampung aspirasi masyarakat, malah berperilaku dengan dasar kepentingan pribadi. Hal ini tentu meresahkan masyarakat, sehingga akhirnya muncul aksi-aksi mahasiswa yang tidak puas atas kinerja mereka.
Namun sayangnya, peran mahasiswa dalam arti yang sesungguhnya belum menempati posisi yang sesuai dengan kondisi saat ini. Kita masih semerta-merta meyakini bahwa perjuangan mahasiswa saat ini harus serupa bentuk dan tatanannya seperti masa lalu dan terhanyut pada romantisme sejarah tersebut.  Di kampus, mahasiswa dan dosen yang juga mantan mahasiswa terus saja terbuai dalam cerita hebatnya tekanan mahasiswa pada tahun 1998 untuk menjatuhkan Soeharto yang kemudian melahirkan Reformasi menurut Pers nasional. Namun tampaknya logika sejarah lainnya dapat memberi tahu kita bahwa “serangan luar IMF” justru lebih dahsyat dan menentukan ketimbang “serangan dalam mahasiswa”. Selain itu, Soeharto adalah orang kuat yang dalam 32 tahun kekuasaannya sangat berpengalaman dan begitu konsen menghadapi lawan manapun di dalam negeri.
Kekuatan “serangan luar” ini sesungguhnya adalah akibat logis modus ekspansi baru dari kapitalisme global dan hal inilah seharusnya menjadi perhatian insan akademisi di kampus demi kesejahteraan rakyat kecil. Namun yang terjadi sampai sekarang kehidupan kemahasiswaan terus disorot berbagai opini negatif. Gerakan mahasiswa saat ini dinilai sangat anarkis. Mahasiswa tidak lagi mau terlibat dalam musyawarah mufakat. Euforia demokrasi dimaknai sebagai kebebasan tanpa batas mengatasnamakan harga diri serta dengan embel-embel memperjuangkan hak rakyat kecil, terjadilah atraksi yang justru berimbas pada persendian kehidupan masyarakat di Indonesia. Sumpah yang keluar dari mulut insan intelektual muda tidak lagi menyuarakan ideologi dan moralitas, melainkan sumpah serapah sebagai penuntutan kepada para pemimpin yang dianggap menyeleweng dari janjinya ketika kampanye.
Seakan lelah dengan semua “perjuangan” itu, mahasiswa akhirnya menjadi apatis dan masa bodoh terhadap tanggung jawabnya sebagai ujung tombak bangsa apalagi pemegang tombak bangsa. Dunia kepemudaan pada umumnya dan dunia kemahasiswaan khususnya mulai diwarnai oleh tawuran, narkoba, seks bebas, serta rasa individualime yang tinggi dalam mempertahankan eksistensi semunya. Sebagaimana ungkapan dari Dr. Bill Bright : “Student Today, Leader Tomorrow”, tidak dapat dipungkiri kondisi Indonesia di masa depan sangat dipengaruhi oleh kondisi mahasiswa saat ini,
Masih banyak harapan bagi mahasiswa untuk memperbaiki komitmen dalam mengimplementasikan Pancasila serta Sumpah Pemuda dengan benar disesuaikan dengan roh kepemudaan dan zaman. Mahasiswa yang bijak tahu kapan dia harus bertindak dan kapan dia harus diam, bukan berdasarkan pada emosi yang meledak-ledak. Berinisiatif untuk tidak menjadi ilmuan bodoh yang ditunggangi kepentingan politik pihak tertentu. Menjadi poros kekuatan madani yang berpikir bak seorang filsuf kemudian bertindak bak seorang prajurit. Perjuangan mahasiswa bukan hanya di kampus dan di jalan-jalan tapi ada di “hati” dan “pikiran”. Kemurnian paradigm tentang memperjuangkan nasib rakyat kecil bukan kepentingan pribadi atau kelompok akan menempatkan mahasiswa pada proporsi yang tepat sebagai bagian dari dinamika sosial bangsa ini.
Akhirnya, semoga tulisan ini mampu menjadi alat refleksi gerakan kemahasiswaan di Indonesia.
Salam.

3 komentar: