::MAHASISWA YANG
BEBAS DARI EKSISTENSI SEMU::
-Romel K. Malensang-
Dalam perhelatan
historisitas yang cukup panjang di bangsa ini, aspek kemahasiswaan secara
konstektual seakan selalu diidentikan dengan sebuah eksistensi yang membawa
perubahan, penuh semangat, progresif, inovatif, dan memiliki sensitivitas
social yang tinggi. Peranan mahasiswa tercatat indah dalam sejarah perjuangan
Bangsa Indonesia dimulai dari pergerakan Budi Utomo tahun 1908, Sumpah Pemuda
tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, pergerakan mahasiswa tahun 1966,
dan masih banyak lagi.
Kata-kata “Agent
of Change”, “Iron Stock”, “Guardian of Value”, selalu menempel erat sebagai
identitas para mahasiswa yang juga dikenal sebagai kaum intelektual muda. Hal
inilah yang kemudian menjadi sebuah pandangan umum atau lebih tepat saya
istilahkan “beban moral” mahasiswa yang menjadi kepercayaan khalayak populis
maupun elitis selain belajar di kelas.
Masa reformasi
ini, mahasiswa diperhadapkan dengan tantangan yang semakin rumit dan kompleks.
Ketika sistem demokrasi ini dengan prinsip dasar menjamin hak untuk bebas,
merdeka, dan berkuasa, muncullah anggapan masyarakat dan khususnya juga
beberapa “simpatisan mahasiswa” bahwa dirinya pun ingin dihargai dan menguasai,
tanpa adanya pemahaman mengenai etika moral yang ada. Kepentingan-kepentingan
individu yang egoistis inilah pada akhirnya menimbulkan konflik antar kelompok
masyarakat, anarkisme mahasiswa, dan konflik-konflik lainnya baik agama maupun
budaya. Hal ini pun tercermin dalam perilaku beberapa petinggi pemerintahan
yang ada di beberapa lembaga. Ketika negara demokrasi seharusnya
mengikutsertakan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, yang terjadi
malah kebalikannya. Masyarakat menjadi korban dari kebijakan yang dibuat
pemerintah. Pemerintah yang juga seharusnya menampung aspirasi masyarakat,
malah berperilaku dengan dasar kepentingan pribadi. Hal ini tentu meresahkan
masyarakat, sehingga akhirnya muncul aksi-aksi mahasiswa yang tidak puas atas
kinerja mereka.
Namun sayangnya,
peran mahasiswa dalam arti yang sesungguhnya belum menempati posisi yang sesuai
dengan kondisi saat ini. Kita masih semerta-merta meyakini bahwa perjuangan
mahasiswa saat ini harus serupa bentuk dan tatanannya seperti masa lalu dan
terhanyut pada romantisme sejarah tersebut. Di kampus, mahasiswa dan dosen yang juga
mantan mahasiswa terus saja terbuai dalam cerita hebatnya tekanan mahasiswa
pada tahun 1998 untuk menjatuhkan Soeharto yang kemudian melahirkan Reformasi
menurut Pers nasional. Namun tampaknya logika sejarah lainnya dapat memberi
tahu kita bahwa “serangan luar IMF” justru lebih dahsyat dan menentukan
ketimbang “serangan dalam mahasiswa”. Selain itu, Soeharto adalah orang kuat
yang dalam 32 tahun kekuasaannya sangat berpengalaman dan begitu konsen menghadapi
lawan manapun di dalam negeri.
Kekuatan
“serangan luar” ini sesungguhnya adalah akibat logis modus ekspansi baru dari
kapitalisme global dan hal inilah seharusnya menjadi perhatian insan akademisi
di kampus demi kesejahteraan rakyat kecil. Namun yang terjadi sampai sekarang
kehidupan kemahasiswaan terus disorot berbagai opini negatif. Gerakan mahasiswa
saat ini dinilai sangat anarkis. Mahasiswa tidak lagi mau terlibat dalam
musyawarah mufakat. Euforia demokrasi dimaknai sebagai kebebasan tanpa batas mengatasnamakan
harga diri serta dengan embel-embel memperjuangkan hak rakyat kecil, terjadilah
atraksi yang justru berimbas pada persendian kehidupan masyarakat di Indonesia.
Sumpah yang keluar dari mulut insan intelektual muda tidak lagi menyuarakan
ideologi dan moralitas, melainkan sumpah serapah sebagai penuntutan kepada para
pemimpin yang dianggap menyeleweng dari janjinya ketika kampanye.
Seakan lelah
dengan semua “perjuangan” itu, mahasiswa akhirnya menjadi apatis dan masa bodoh
terhadap tanggung jawabnya sebagai ujung tombak bangsa apalagi pemegang tombak
bangsa. Dunia kepemudaan pada umumnya dan dunia kemahasiswaan khususnya mulai
diwarnai oleh tawuran, narkoba, seks bebas, serta rasa individualime yang
tinggi dalam mempertahankan eksistensi semunya. Sebagaimana ungkapan dari Dr.
Bill Bright : “Student Today, Leader Tomorrow”, tidak dapat dipungkiri kondisi
Indonesia di masa depan sangat dipengaruhi oleh kondisi mahasiswa saat ini,
Masih banyak
harapan bagi mahasiswa untuk memperbaiki komitmen dalam mengimplementasikan
Pancasila serta Sumpah Pemuda dengan benar disesuaikan dengan roh kepemudaan
dan zaman. Mahasiswa yang bijak tahu kapan dia harus bertindak dan kapan dia
harus diam, bukan berdasarkan pada emosi yang meledak-ledak. Berinisiatif untuk
tidak menjadi ilmuan bodoh yang ditunggangi kepentingan politik pihak tertentu.
Menjadi poros kekuatan madani yang berpikir bak seorang filsuf kemudian
bertindak bak seorang prajurit. Perjuangan mahasiswa bukan hanya di kampus dan
di jalan-jalan tapi ada di “hati” dan “pikiran”. Kemurnian paradigm tentang
memperjuangkan nasib rakyat kecil bukan kepentingan pribadi atau kelompok akan
menempatkan mahasiswa pada proporsi yang tepat sebagai bagian dari dinamika
sosial bangsa ini.
Akhirnya, semoga
tulisan ini mampu menjadi alat refleksi gerakan kemahasiswaan di Indonesia.
Salam.
Asek skali, so ada blog,.
BalasHapus^_^
hehe
BalasHapuskak ome somo aksis truss di blog ini.. hahaha (^__^#)
BalasHapus