·
Substuruktur sosial yang pertama, Desa, diasosiasikan dengan masyarakat
petani yang disebut Abangan. Kaum
abangan adalah masyarakat yang menekankan aspek-aspek animisme atau kepercayaan
terhadap adanya makhluk halus yang dapat mempengaruhi hidup manusia. Tradisi
selamatan merupakan ciri khas masyarakat ini (Geertz, 1981:6). Pada masa lalu,
afiliasi politik kalangan abangan pada tahun 1960-an biasanya berorientasi pada
PKI dan PNI.
·
Substruktur sosial yang kedua, Pasar, diasosiasikan dengan kalangan Santri
yang dihubungkan dengan elemen dagang(dan pada elemen tertentu di kalangan tani
juga). Kalangan santri diidentikkan dengan kelompok yang melaksanakan
doktrin-doktrin Islam yang lebih murni bukan saja pada tatacara pokok
peribadatannya, namun juga dalam keseluruhan yang kompleks dari organisasi
sosial (Geertz, 1981:7). Pada masa lalu, kelompok masyarakat santri cenderung
berafiliasi pada partai NU atau Masyumi. Kini mereka berafiliasi pada partai
seperti PKS, PKB, PPP,dan partai yang berbasis Islam lainnya.
·
Substruktur yang ketiga, birokrasi pemerintah,
diasosiasikan dengan kalangan Priyayi. Priyayi adalah kalangan masyarakat
aristokrat turun temurun yang mengakar pada kraton Hindu-Jawa sebelum masa
kolonial. Kalangan Priyayi tidak menekankan pada elemen animistik dari
sinkrestisme Jawa seperti kaum abangan, tidak pula menekankan pada elemen Islam
sebagaimana kaum santri, tetapi menitikberatkan pada elemen Hinduisme (Geertz,
1981:8). Pada masa lalu, kelompok masyarakat priyayi beafiliasi dengan partai
PNI. Kini mereka berafiliasi pada partai Golkar.
Konflik
Ideologi (Geertz, 1981:477-479)
Ketegangan antara
priyayi dan abangan dalam hal ideologi tidak begitu nampak secara jelas
dibandingkan ketegangan antara kedua kelompok itu dengan kaum santri . Serangan
kaum abangan terhadap ideologi kaum santri terlihat jelas dengan nyanyian
ejekan kaum abangan yang mengisyaratkan bahwa kaum santri merasa memiliki
moralitas yang lebih suci dari kaum abangan dengan cara berpakaian sopan,
seperti kerudung namun dalam kenyataan – menurut kaum abangan – masih melakukan
perbuatan zina.
Dalam serangan priyayi,
kritik terhadap kemunafikan santri dan intoleransi mereka sering digabungkan
dengan perbedaan teoritis mengenai pola kepercayaan.
Dari pihak santri sendiri menyerang
dengan tidak kalah tajam. Kaum santri menuduh kaum abangan sebagai penyembah
berhala. Sedangkan kaum priyayi dituduh tidak bisa membedakan dirinya dengan
Tuhan (dosa takabur yang berat sekali). Sehingga melalui itu, kaum santri
memiliki tendensi yang jelas untuk menganggap setiap orang di luar kelompoknya
sebagai komunis.
Konflik
Kelas (Geertz, 1981: 480-485)
Ketegangan priyayi dan
abangan terlihat jelas pada hubungannnya dengan persoalan status. Kaum priyayi
menuduh kaum abangan tidak tahu tempatnya yang layak sehingga mengganggu
keseimbangan dalam masyarakat. Mereka menganggap bahwa kedudukan status sosial
mereka lebih tinggi dibangdingkan dengan kaum abangan sehingga mereka tidak
suka jika kaum abangan yang mayoritas petani meniru gaya hidup mereka.
Namun sejak zaman
pendudukan Jepang di Indonesia, kaum abangan mulai menyuarakan persamaan hak
dan status sosial dengan kaum priyayi. Menurut kaum abangan, priyayi tidaklah
lagi berada pada jarak yang jauh sebagai tokoh-tokoh kekuasaan, kekayaan, dan
kesaktian magis yang berada pada puncak atas struktur sosial. Sedangkan kaum
priyayi selalu berusaha melestarikan hak istimewa mereka yang tradisional
supaya diterima oleh kelompok yang lebih luas termasuk kalangan abangan dan
santri.
Konflik
Politik
Disamping
konflik-konflik ideologis, perjuangan kekuasaan politik merupakan unsur yang
ketiga yang mempertajam konflik keagamaan. Konflik politik yang berawal dari
revolusi politik yang ada di Indonesia , yaitu ketika kekosongan kekuasaan yang
tiba-tiba terjadi menyeret hampir semua kehidupan sosial ke sana . Perjuangan
politik yang demikian meninggi tentu saja menghasilkan suatu konflik internal
yang dipertajam antara berbagai kelompok keagamaan (Geertz, 1981: 485-486).
Kritikan
Ada
beberapa kritikan terhadap Greetz, sebagaimana yang disampaikan oleh Harsja W.
Bachtiar (1973) diantara adalah :
Pengertian tentang agama. Greetz tidak memberikan definisi
agama secara jelas. Seperti diungkapkan di atas, agama Jawa yang menjadi judul
dalam buku Greetz ternyata tidak menggambarkan agama-agama yang ada di Jawa
atau agama Jawa itu sendiri. Menurutnya agama Jawa tidaklah sama dengan agama
Islam di Jawa. Agama Jawa pada pokoknya dimanifestasikan sebagai pemujaan
kepada nenek moyang atau leluhur.
Selain itu, tiga varian yang disebutkan oleh Greetz ternyata
tidak konsisten sebagai kategori-kategori dari satu tipe klasifikasi. Pembedaan
antara abangan dan santri diadakan karena penduduk digolongkan menurut prilaku
keagamaan, sedangkan istilah priyayi tidak bisa dianggap sebagai kategori yang
sama. Istilah priyayi mengacu kepada kelas sosial tertentu.