Minggu, 06 Oktober 2013

Review : Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Clifford Geertz) Oleh : Romel K. Malensang, S.IP


Terdapat tiga inti struktur sosial di Jawa : Desa, Pasar, dan birokrasi pemerintah
·        Substuruktur sosial yang pertama, Desa, diasosiasikan dengan masyarakat petani yang disebut Abangan. Kaum abangan adalah masyarakat yang menekankan aspek-aspek animisme atau kepercayaan terhadap adanya makhluk halus yang dapat mempengaruhi hidup manusia. Tradisi selamatan merupakan ciri khas masyarakat ini (Geertz, 1981:6). Pada masa lalu, afiliasi politik kalangan abangan pada tahun 1960-an biasanya berorientasi pada PKI dan PNI.
·        Substruktur sosial yang kedua, Pasar, diasosiasikan dengan kalangan Santri yang dihubungkan dengan elemen dagang(dan pada elemen tertentu di kalangan tani juga). Kalangan santri diidentikkan dengan kelompok yang melaksanakan doktrin-doktrin Islam yang lebih murni bukan saja pada tatacara pokok peribadatannya, namun juga dalam keseluruhan yang kompleks dari organisasi sosial (Geertz, 1981:7). Pada masa lalu, kelompok masyarakat santri cenderung berafiliasi pada partai NU atau Masyumi. Kini mereka berafiliasi pada partai seperti PKS, PKB, PPP,dan partai yang berbasis Islam lainnya.
·        Substruktur yang ketiga, birokrasi pemerintah, diasosiasikan dengan kalangan Priyayi. Priyayi adalah kalangan masyarakat aristokrat turun temurun yang mengakar pada kraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial. Kalangan Priyayi tidak menekankan pada elemen animistik dari sinkrestisme Jawa seperti kaum abangan, tidak pula menekankan pada elemen Islam sebagaimana kaum santri, tetapi menitikberatkan pada elemen Hinduisme (Geertz, 1981:8). Pada masa lalu, kelompok masyarakat priyayi beafiliasi dengan partai PNI. Kini mereka berafiliasi pada partai Golkar.
Konflik Ideologi (Geertz, 1981:477-479)
Ketegangan antara priyayi dan abangan dalam hal ideologi tidak begitu nampak secara jelas dibandingkan ketegangan antara kedua kelompok itu dengan kaum santri . Serangan kaum abangan terhadap ideologi kaum santri terlihat jelas dengan nyanyian ejekan kaum abangan yang mengisyaratkan bahwa kaum santri merasa memiliki moralitas yang lebih suci dari kaum abangan dengan cara berpakaian sopan, seperti kerudung namun dalam kenyataan – menurut kaum abangan – masih melakukan perbuatan zina.
Dalam serangan priyayi, kritik terhadap kemunafikan santri dan intoleransi mereka sering digabungkan dengan perbedaan teoritis mengenai pola kepercayaan.
Dari pihak santri sendiri menyerang dengan tidak kalah tajam. Kaum santri menuduh kaum abangan sebagai penyembah berhala. Sedangkan kaum priyayi dituduh tidak bisa membedakan dirinya dengan Tuhan (dosa takabur yang berat sekali). Sehingga melalui itu, kaum santri memiliki tendensi yang jelas untuk menganggap setiap orang di luar kelompoknya sebagai komunis.
Konflik Kelas (Geertz, 1981: 480-485)
Ketegangan priyayi dan abangan terlihat jelas pada hubungannnya dengan persoalan status. Kaum priyayi menuduh kaum abangan tidak tahu tempatnya yang layak sehingga mengganggu keseimbangan dalam masyarakat. Mereka menganggap bahwa kedudukan status sosial mereka lebih tinggi dibangdingkan dengan kaum abangan sehingga mereka tidak suka jika kaum abangan yang mayoritas petani meniru gaya hidup mereka.
Namun sejak zaman pendudukan Jepang di Indonesia, kaum abangan mulai menyuarakan persamaan hak dan status sosial dengan kaum priyayi. Menurut kaum abangan, priyayi tidaklah lagi berada pada jarak yang jauh sebagai tokoh-tokoh kekuasaan, kekayaan, dan kesaktian magis yang berada pada puncak atas struktur sosial. Sedangkan kaum priyayi selalu berusaha melestarikan hak istimewa mereka yang tradisional supaya diterima oleh kelompok yang lebih luas termasuk kalangan abangan dan santri.
Konflik Politik
Disamping konflik-konflik ideologis, perjuangan kekuasaan politik merupakan unsur yang ketiga yang mempertajam konflik keagamaan. Konflik politik yang berawal dari revolusi politik yang ada di Indonesia , yaitu ketika kekosongan kekuasaan yang tiba-tiba terjadi menyeret hampir semua kehidupan sosial ke sana . Perjuangan politik yang demikian meninggi tentu saja menghasilkan suatu konflik internal yang dipertajam antara berbagai kelompok keagamaan (Geertz, 1981: 485-486).
Kritikan
Ada beberapa kritikan terhadap Greetz, sebagaimana yang disampaikan oleh Harsja W. Bachtiar (1973) diantara adalah :
Pengertian tentang agama. Greetz tidak memberikan definisi agama secara jelas. Seperti diungkapkan di atas, agama Jawa yang menjadi judul dalam buku Greetz ternyata tidak menggambarkan agama-agama yang ada di Jawa atau agama Jawa itu sendiri. Menurutnya agama Jawa tidaklah sama dengan agama Islam di Jawa. Agama Jawa pada pokoknya dimanifestasikan sebagai pemujaan kepada nenek moyang atau leluhur.
Selain itu, tiga varian yang disebutkan oleh Greetz ternyata tidak konsisten sebagai kategori-kategori dari satu tipe klasifikasi. Pembedaan antara abangan dan santri diadakan karena penduduk digolongkan menurut prilaku keagamaan, sedangkan istilah priyayi tidak bisa dianggap sebagai kategori yang sama. Istilah priyayi mengacu kepada kelas sosial tertentu.